Sebuah mural memperingati koresponden Palestina-Amerika Shireen abu Akleh (Ahmad Gharabli / AFP/Getty Images)
Tidak banyak yang mengakui, atau mungkin menyadari, bahwa keberhasilan maupun kegagalan seorang pemuda dalam kariernya (banyak orang menyebutnya sebagai masa depan) bukanlah urusan pribadi yang tercerabut begitu saja dari konteks sosialnya. Seseorang mungkin telah bekerja keras sehingga ia dapat menjalani hidup dengan layak. Sementara itu, seseorang lainnya telah mengerahkan tenaganya untuk melakukan dua hingga tiga pekerjaan sekaligus, tetapi semua yang ia miliki hanya cukup untuk hidup dari satu tagihan ke tagihan lainnya, menutup kebutuhan sehari-hari. Sementara, dunia hari ini tetap penuh dengan istilah yang memusingkan. Tidak sedikit di antaranya ternyata kebohongan dan iming-iming palsu saja.
Saat saya duduk di bangku sekolah menengah, istilah bonus demografi terus-menerus digaungkan. Judul-judul seminar, acara televisi, berita, hingga materi pelajaran di sekolah penuh dengan ajakan menyambutnya. Beranjak kuliah, saya kembali mendengar banyak lema baru yang gaungnya juga sama keras: digitalisasi, revolusi industri 4.0, smart city, sociopreneur, generasi milenial, ekonomi kreatif. Dan saya tetap tidak paham. Istilah-istilah itu terdengar lompat jauh dari semua yang saya dengar, lihat, dan alami sehari-hari. Misalnya, soal kekhawatiran saya dan sejawat mengenai masa depan, kestabilan hidup, pekerjaan yang layak, akses perumahan, pendidikan, keamanan, kesehatan, dan kehidupan masa tua.
Saya termasuk beruntung karena terpapar pengetahuan, pengalaman, dan cerita soal realita sosial yang benar-benar terjadi. Yang tidak sekadar jargonistik dan semu. Yang memberi saya gambaran bahwa hidup tidak hanya begitu kompleks dan tidak mudah, tetapi juga sekaligus memberi tahu saya bagaimana mengelola harapan dan memperjuangkan perubahannya.
Kemelut atas pengalaman pribadi dan perjalanan pemahaman saya tentangnya itulah yang melatarbelakangi saya menuliskan topik mengenai pekerja, pemuda, dan kompleksitas yang dialaminya. Saya berusaha mempelajari dan mencari tahu soal kondisi yang dialami kawan-kawan dan saya sendiri pada masa-masa transisi menuju dewasa. Apa yang sesungguhnya kita hadapi? Kenapa sesuatu terjadi dan tidak? Bagaimana harus meresponsnya?
Saya sengaja memilih pekerja media karena kedekatan saya dengan dunia jurnalistik. Selain punya kawan-kawan yang bekerja atau menekuni bidang ini, jurnalisme pulalah yang telah memperkaya pemahaman saya akan realita sosial. Ia seperti lensa dalam kacamata yang membantu saya melihat lebih jelas. Saya melihat banyak ruang yang belum banyak diisi dalam studi dan pembahasan mengenai jurnalisme, yakni mengenai pekerjanya.
Kepedulian saya terhadap isu media dan jurnalisme semakin diperkuat oleh berbagai kondisi kerja, ketidakpastian, dan ragam upaya perlawanan serta negosiasi yang dilakukan berbagai pihak. Naskah asli buku ini diambil dari skripsi saya yang selesai sebelum pertengahan 2020, masa di mana pandemi masih menjadi hal baru yang harus kita lalui. Setelahnya, ada banyak peristiwa yang membuat saya semakin yakin terhadap relevansi pembahasan ini, seperti disahkannya UU Cipta Kerja pada awal November 2020, PHK besar-besaran yang dilakukan media, dan berbagai kondisi untuk menyesuaikan pandemi seperti perubahan gaji, jam kerja, dll. Buku ini saya maksudkan menjadi salah satu medium untuk menguatkan dan memperteguh kawan-kawan yang terkena imbasnya, yang telah berusaha melalui kondisi yang sulit lewat berbagai cara, termasuk yang tetap setia pada upayanya melanjutkan perjuangan.
Tidak muluk-muluk, melalui publikasi ini saya ingin membagi pengalaman sebagian kecil pekerja media yang saya dengar, yang berusaha saya berikan konteks ekonomi politik sebagai salah satu tawaran perspektif. Alih-alih menambah daftar panjang istilah yang membuat pusing, beberapa konsep dalam analisis ini dimaksudkan untuk mengimbangi narasi dominan yang, seperti berulang kali disebutkan sebelumnya, telah mengaburkan realita—dan barangkali, mungkin, telah “membohongi” kita.
___Tulisan ini bagian Kata Pengantar buku Yang Tidak Banyak Dikatakan Soal Pekerja Media karya Citra Maudy Mahanani