Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the woocommerce domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/remg7282/public_html/litaniliterasi.com/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the wp-mail-logging domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/remg7282/public_html/litaniliterasi.com/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the updraftplus domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/remg7282/public_html/litaniliterasi.com/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the wordpress-seo domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/remg7282/public_html/litaniliterasi.com/wp-includes/functions.php on line 6114
Melihat Kelelahan Kerja dan Ketimpangan Ekonomi Dari Dekat Sekali - Litani Literasi

Litani Literasi

26 Februari 2023

0 Comments

Melihat Kelelahan Kerja dan Ketimpangan Ekonomi Dari Dekat Sekali

Sudahkan pekerjaan kita saat ini mampu melahirkan kepuasan batin, kesejahteraan, dan mampu melahirkan pengharapan baru?

Ilustrasi Nai Rinaket (https://nairinaket.com), ekslusif untuk postcard Litani Literasi

Mengingat kembali mata pelajaran ekonomi saat menempuh pendidikan sekolah menengah atas (SMA). Lalu istilah-istilah mentereng: “hukum permintaan/penawaran”, “inflasi”, “kelangkaan”, “bonus demografi”, “rasio pendapatan”, “Produk Domestik Bruto (PDB)” hadir kembali. Ekonomi dalam benak adalah bidang ilmu yang penuh “kegagahan”, hal ihwal besar dan janji-janji masa depan. 

Apakah berbagai “kegagahan”, ” janji-janji pra-sarat kesejahteraan” yang digaungkan para ekonom hadir dalam kehidupan keseharian kita?

Seorang pekerja muda start-up digital termenung menatap layar gawai. Di berbagai media massa ia menemukan berita tentang PHK. Menurut para ekonom, ekonomi digital adalah masa depan yang cerah. Namun, hari itu tidak ada janji dan impian yang lebih jelas dalam benaknya kecuali ketakutan mengalami PHK.

Pekerja muda itu terlanjur pergi ke kota. Tercerabut dari akar. Tidak pernah bisa menceritakan dengan bahasa “ibu” untuk orang di kampungnya, jika ditanya “sekarang kerja apa, di mana? Ketika SMP, pekerjaan baginya hanya dokter, petani, polisi, insinyur, perawat dll. Namun, ketika beranjak SMA dan kemudian lulus dari perguruan tinggi, di ujung masa remajanya semua pekerjaan yang membayangi masa kecil hingga remajanya sirna. 

Content editor, social media manager, content moderator adalah sebaris nama-nama profesi yang ia temukan ketika membuka situs bursa kerja. Pekerjaan yang asing bagi keluarganya di kampung nun jauh. Sebenarnya juga asing bagi dirinya.

Ekonomi hari ini tumbuh di antara berbagai gemerlap janji-janji kesejahteraan. Merayap di antara ribuan bahkan jutaan pekerja yang lelah, depresi, dan tak kunjung sejahtera.

Menerbitkan William Morris

Teks buku Useful Work vs Useless Toil (Kerja atau Dikerjain?) terbit pertama pada tahun 1893. Apa artinya menerbitkan teks yang sudah berusia satu abad, tiga puluh tahun? 

Pertanyaan itu mengusik benak kami di hari-hari terakhir terjemahan Useful Work vs Useless Toils selesai. Masih relevankah buku ini untuk memberikan jawaban atas berbagai silang sengkarut ekonomi dan kehidupan kerja hari ini di Indonesia? 

Hanya kami tahu, sebagaimana sidang pembaca tahu, “bekerja” telah menjadi aktivitas yang setua perdaban manusia. Sepanjang peradaban, kerja telah menjadi sumber berkat, namun juga tiada habisnya menjadi sumber masalah.

Ketika membaca untuk pertama kalinya naskah asli buku ini pada medio Desember 2022, kami seperti sedang dinasehati sorang kakek tua. Nasehat-nasehat itu tidak hanya memancing perenungan, tapi juga provokasi.

Di penghujung abad ke 19 kapitalisme dan revolusi industri (1760-1850) yang mulai mengeliat satu abad sebelumnya di Eropa Barat membuat William Morris gelisah. Kapitalisme dan industrialisasi mulai menjadi kenyataan yang hadir di depan “pintu rumah” Morris.

Eropa Barat mulai dipenuhi dengan kemunculan kaum borjuis, dan kelas komersial baru. Malam panjang ekonomi kapitalistik menggulung pelan-pelan tatanan ekonomi lama.

Dalam gelap gulita, kapitalisme dan industrialisasi membuat kita rabun, dan tertatih-tatih menilai mana pekerjaan yang layak mana yang tidak. Sebab, sistem ini tidak mungkin membuat pekerja memilih. Tiada pilihan lain, kecuali terus bekerja untuk tiada henti mengejar harta dan mengakumulasi kekayaan.

William Morris menyebutkan “kelas konglomerat ningrat” adalah biang kerok kelelahan kerja. Kelas konglomerat ningrat pelan-pelan mendidik hasrat pekerja untuk mengimpikan hidup seperti tuannya. “tak pernah puas menimbun harta”.

Hari ini, sistem ekonomi bertumpu pada upaya memperalat pekerja untuk terus menerus “diam-diam” menyokong kehidupan kelas minoritas “konglomerat ningrat”. Kelas konglomerat ningrat tidak pernah puas menimbun kekayaan. Kelas pekerja juga tidak pernah puas bekerja, kerja terus menerus.

Fildzah Izzati dalam Catatan Reflektif buku ini berkomentar tentang analisis Morris yang sederhana namun jitu tentang kerja dan pekerja, begini :

Kategorisasi pekerja dan pekerjaannya sebagaimana ditulis oleh Morris juga sangat relate dengan kondisi saat ini. Ada yang bekerja sedikit tapi dianggap bekerja lebih banyak dari yang lain dan ada yang bekerja lebih banyak dari yang lain tapi tak dianggap bekerja lebih daripada yang lain, dan bahkan banyak yang dianggap tidak bekerja sama sekali. 

Membaca Morris seperti mendengar seruan seorang kakek dari kehidupan satu abad yang lalu. Terang, sederhana, indah namun penuh provokasi. Membuat kerumitan masalah ekonomi dan persoalan tentang “kelelahan kerja” menjadi sangat dekat. Mudah dipahami.

Sebuah seruan untuk kembali bertanya pada diri: sudahkan pekerjaan kita saat ini mampu melahirkan kepuasan batin, kesejahteraan, dan mampu melahirkan pengharapan baru?