Litani Literasi

3 November 2023

0 Comments

Dari Sungai Hingga Lautnya: Sebuah Ide Tentang Palestina

Ide tentang Palestina hari ini dan selamanya, terbawa di dalam darah, di dalam tulang, dan terwujud nyata dalam tindakan; tidak terbatas hanya pada orang-orang Palestina.

Oleh Edward Said

Diterjemahkan oleh Jofie D.B dari rekaman orasi Edward Said di The Town Hall, New York City, pada 2 Juli 1982, ketika kolonialis Israel membantai orang Palestina di Lebanon.

From the river to the sea, Palestine will be free.”

Saya ingin bicara kepada Anda perihal ide tentang Palestina, dengan kesadaran penuh bahwa gagasan itu adalah sebuah ide pada saat 120.000 tentara Israel dan seribu tank serta ratusan pesawat buatan Amerika Serikat mengepung dan menyerang serta mengebom kamp-kamp pengungsi dan sisa-sisa pengungsi Palestina yang kini berada di Lebanon[1]. Mungkin tampak seperti tidak pantas untuk membicarakan sebuah ide. Tapi saya akan bicara tentang sebuah ide. Sebuah ide yang terus bertahan, meskipun perang telah menghabiskan uang Israel 100 juta dollar Amerika per hari[2] dan korban jiwa yang sangat besar—yang mana terjadi perdebatan sengit di media Amerika tentang berapa banyak orang yang benar-benar terbunuh[3], di mana orang-orang Israel dan para apologis Zionis tidak pernah mengungkapkan, bahwa itu adalah kebijakan militer Israel yang hanya menghitung korban warga sipil Lebanon dan bukan warga Palestina, karena, seperti yang dikatakan oleh Menachem Begin[4] di Knesset pada tanggal 8 Juni, orang-orang Palestina hanyalah “binatang berkaki dua”.

Jadi dalam konteks ini, mungkin tampak salah untuk membicarakan sebuah ide, tetapi saya tetap akan melakukannya. Sebab kita harus memahami bahwa upaya luar biasa Israel dan Amerika untuk memusnahkan orang-orang Palestina adalah tentang pemusnahan sebuah ide, dan bukan, seperti yang dikatakan oleh orang-orang Israel dan para pendukungnya, sebuah perjuangan demi peradaban. Sebuah peradaban yang sama yang menyekap orang-orang dengan tudung ke dalam mobil—seperti yang mereka lakukan di Chili pada tahun 1973[5] setelah kudeta—untuk mengidentifikasi orang-orang Palestina dan mengirim mereka ke kamp-kamp konsentrasi, yang lalu tidak pernah kedengaran lagi nasibnya. Peradaban yang diperjuangkan oleh Israel ini bertentangan dengan sebuah ide, sebuah ide tentang Palestina, yang ingin saya bicarakan hari ini, yang diwujudkan dalam tiga cara yang sangat konkret oleh rakyat Palestina dan sekutu-sekutu Arab dan non-Arab-nya di seluruh dunia.

Pertama, ide tentang Palestina yang diwujudkan dalam kehidupan dan perjuangan rakyat Palestina, pertama-tama, mewakili keaslian dan realitas nyata yang tak terbantahkan dari perlawanan penduduk asli Palestina terhadap gerakan penjajah yang telah merampas hak-hak mereka, menggusur mereka, dan sekarang berusaha untuk menghancurkan mereka secara fisik dan moral.

Kedua, ide tentang Palestina adalah gagasan terakhir yang tersisa dari Arabisme[6]. Artinya, pada saat kita melihat rezim-rezim Arab terus menerus membicarakan tentang perjuangan nasional dan masa-masa suram mereka, satu-satunya ide yang masih menggembleng rakyat Arab yang ditindas oleh rezim-rezim yang tidak populer, terasing, dan kecil, yang secara paradoksal terkait dengan Amerika Serikat dengan cara-cara yang disebutkan oleh Dick Falk[7], satu-satunya gagasan yang tersisa dari perjuangan nasional Arab, adalah ide tentang Palestina. Dan saya harus menekankan bahwa ide ini tetap hidup bukan karena orang-orang membicarakan atau berkumpul di tempat-tempat seperti ini dan mengutarakan ide tentang Palestina, tetapi karena orang-orang benar-benar memperjuangkan ide tersebut di suatu tempat dan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal yang benar.

Ketiga, yang sangat krusial sekarang adalah bahwa ide tentang Palestina merupakan sebuah irisan. Irisan yang membuka perbedaan antara klaim Israel sebagai sebuah negara demokrasi—sebagai sebuah pos terdepan peradaban Barat, sebagai sebuah kekuatan moral di dunia, sebagai sebuah tempat di mana duduk permasalahan Yahudi akan diselesaikan untuk sekarang dan selamanya, oleh orang Yahudi untuk orang Yahudi—di satu sisi, dan di sisi lain, semua hal yang berlawanan dengan klaim itu—yaitu perampasan bangsa Palestina oleh Israel, keterkaitan Israel di seluruh dunia dengan semua rezim menindas dan reaksioner di Dunia Ketiga: Afrika Selatan, El Salvador, Chili, Peru, Guatemala, Haiti. Dan ide tentang Palestina-lah yang membuat mustahil bagi Israel untuk mengatakan bahwa negara mereka dan apa yang mereka lakukan adalah tentang moralitas dan peradaban.

Izinkan saya membahasnya dengan sedikit lebih rinci.

Inti dari kebijakan Israel terhadap orang Palestina adalah bahwa orang Palestina adalah orang non Yahudi, dan oleh karena itu, tidak berhak atas hak-hak dan keistimewaan yang sama dengan orang Yahudi di Palestina. Hal ini sudah ada sejak awal penaklukan Zionis atas Palestina pada awal abad ini[8]. Dan hal ini terus dan selalu berlanjut, bahkan dalam tulisan-tulisan dan pemikiran orang-orang yang saya hormati dan saya baca: Martin Buber, Hannah Arendt, Judah Magnes[9]. Kita selalu menemukan orang-orang yang, seperti ketiga orang yang saya sebutkan tadi, yang menentang dan kadang-kadang tidak senang dengan apa yang dimaksud dengan Zionisme, tetapi tidak memiliki, seperti yang dimiliki oleh sedikit orang Israel saat ini, sebuah rasa kemanusiaan terhadap orang-orang Palestina yang ada di sana. Bagi mereka, bagi orang-orang Yahudi pada umumnya di Palestina, orang Palestina adalah semacam penghalang, gangguan yang dapat diabaikan begitu saja untuk sementara waktu dan setelahnya, seperti yang kita lihat sekarang, secara tragis, mereka harus dibinasakan.

Perang di Lebanon, seperti yang telah dikatakan berkali-kali, merupakan perpanjangan dari serangan yang terus berlanjut terhadap eksistensi identitas nasional Palestina dan ide nasional Palestina. Yang mana perang ini sekarang berada di tangan seorang profesor orientalis, Menahem Milson, gubernur sipil West Bank (Tepi Barat)[10] dan Gaza, yang, bersama dengan Jenderal Sharon[11] dan Begin, sekarang memburu orang-orang Palestina ke tempat mana pun mereka sembunyi. Salah satu ironi besar yang perlu diperhatikan tentang serangan saat ini adalah, bahwa sepanjang tahun lalu semua tokoh utama di pihak Israel telah mengatakan kalau itu hanya persoalan waktu. Bisa terjadi kapan saja. “Kami akan melakukannya.” Karena logika Israel terhadap Palestina tidak pernah berubah. Logikanya selalu tentang mengusir orang Palestina. Dan selama orang Palestina masih tetap tinggal dan masih melakukan perlawanan—seperti yang selalu dilakukan oleh orang Palestina—maka menjadi penting untuk membunuh mereka. Sesederhana itu. Pertama-tama, kau harus merendahkan martabat mereka. Kau katakan mereka adalah binatang berkaki dua. Kau sebut mereka teroris, dan kemudian kau lanjutkan dengan menghabisi mereka.

Sekarang, saya harus menyebutkan bahwa ketika Milson, baru-baru kemarin, mengatakan bahwa tujuan serangan di Lebanon adalah untuk menghancurkan PLO (Organisasi Pembebasan Palestina)[12], dan tujuannya adalah untuk memungkinkan kita [Palestina] menguasai Tepi Barat dan Gaza (Yang kita tahu Begin selalu mengatakan bahwa itu bukanlah wilayah yang dicaplok. Dia mengatakan, “Bagaimana kau bisa mencaplok wilayah yang sudah menjadi milikmu?” Ingat, tidak ada orang di sana. Mereka hanyalah orang-orang Palestina, hanya binatang berkaki dua.) Idenya adalah untuk menghancurkan PLO demi menyelesaikan pencaplokan, penjajahan, dan pengamanan Tepi Barat. Namun, sangat sedikit yang diketahui oleh media Amerika, pada tanggal 20 Juni, 24 walikota Palestina di Gaza dan Tepi Barat menandatangani sebuah deklarasi bahwa mereka menentang serangan Israel di Lebanon dan masih menganggap, dan akan selalu menganggap, PLO sebagai satu-satunya perwakilan sah rakyat Palestina.

Intinya adalah orang-orang Israel dan para pendukungnya belum mampu memahami bahwa yang mereka hadapi bukanlah sekadar orang-orang. Orang-orang bisa saja dimusnahkan, tetapi mereka menghadapi orang-orang dengan ide dan tujuan. Dan perjuangan ini akan terus berlanjut karena selama satu orang Palestina masih hidup, dan ini hampir klise tetapi perlu dikatakan: selama satu orang Palestina masih hidup, ide tentang Palestina akan terus berlanjut.

Saya pikir sangat penting juga untuk mengatakan bahwa ini bukanlah sebuah ide yang hanya tentang wilayah. Tentu saja ini tentang wilayah. Ini tentang hak orang atas tanah air mereka, atas penentuan nasib sendiri. Tetapi juga, dan mungkin membingungkan, dan saya telah mengkritik cara kita menentukan tujuan kita, dan kadang-kadang orang lain mengatakan, dan saya juga mengatakan, bahwa program politik kita tidak jelas. Kita sepertinya mengatakan satu hal di satu hari dan hal lain di hari lain. Ya, ini adalah proses yang demokratis. Dan saya pikir hal yang penting adalah bahwa dengan segala kecanggungannya, dengan segala kebingungannya, dengan segala kesulitan dalam mengekspresikan ide-ide kita di lingkungan baik di dunia Arab maupun di tempat lain, yang hampir sepenuhnya tidak bersahabat karena beberapa alasan yang disebutkan oleh Dick Falk, meskipun demikian, ide ini telah berhasil.

Dan tentang apakah ide itu? Pertama, Ini adalah sebuah ide yang bukan tentang pengucilan. Ini adalah ide tentang hidup dalam sebuah komunitas. Dan ini adalah satu hal yang tidak dapat diterima oleh Zionisme, sejauh yang diketahui oleh orang-orang non Yahudi. Dan ini sulit bagi kita karena sejauh yang kita ketahui, orang-orang Yahudi yang datang ke Palestina datang sebagai orang asing, sebagai penjajah. Namun, ide tentang negara nasional yang sekuler dan demokratis di Palestina adalah sebuah ide tentang hidup dalam sebuah komunitas manusia, tentang kesetaraan dan kesamaan di hadapan hukum. Ide tentang tanah air di bagian Palestina yang terpecah juga merupakan ide tentang hidup bersama. Namun, apa yang telah menjadi tanggapan tradisional, politik, dan resmi dari Zionisme selalu mengatakan, “Tidak, kami tidak tertarik dengan ini, kami tidak tertarik dengan itu. Bahkan, kami tidak ingin kamu ada di sini.” Itulah garis dasar kebijakan Israel.

Dan kedudukan orang-orang Palestina selalu merupakan ide tentang Palestina. Ini adalah ide tentang hidup bersama secara manusiawi di bagian dunia yang penuh dengan darah, yang telah dibayar mahal oleh rakyat kita dan orang-orang yang bersekutu dengan kita. Namun, seperti yang saya katakan, ide ini terus berlanjut.

Yang kedua adalah Palestina, dan ide tentang Palestina, adalah ide terakhir yang tersisa dari Arabisme dan nasionalisme Arab. Gagasan otentik nasionalisme Arab di dunia Arab. Saya ingin menyampaikan kepada Anda sesuatu yang tidak diketahui secara umum. Bahwa pada tahun 30-an, tepatnya pada tahun 1936, selama periode Pemogokan Umum[13] di Palestina, sekelompok orang-orang Arab Teluk[14], bukan penguasa, tetapi sekelompok warga negara, anggota asosiasi Islam dan Arab di Kuwait dan di tempat lain di Teluk, yang menekan para penguasa di Teluk untuk mengumpulkan uang untuk dikirim ke Palestina dalam rangka mendukung pemogokan besar-besaran rakyat Palestina. Dan pola ini terus berlanjut ketika setiap rezim Arab menyatakan diri mendukung perjuangan Palestina dan seterusnya. Alasan mereka melakukan hal ini adalah karena di mata rakyat mereka sendiri, mengingat bahwa mereka adalah rezim yang tidak populer, terasing, rezim minoritas yang sangat terlibat dengan Amerika Serikat dan secara tidak langsung, dan dalam beberapa kasus secara langsung, dengan Israel, satu hal yang selalu mereka jadikan sandaran adalah ide tentang Palestina.

Mengapa? Karena orang-orang mereka, hampir sampai ke lelaki dan perempuan terakhirnya, mendukung ide tentang Palestina. Bukan hanya karena mereka mengagumi dan merasa simpati dengan perjuangan rakyat Palestina, tetapi juga karena—dan ini sangat penting untuk dipahami—rancangan Israel di Timur Tengah. Sebagai contoh, deklarasi Jenderal Sharon pada tanggal 14 Desember tahun lalu, menyatakan bahwa seluruh Timur Tengah kini berada dalam wilayah jangkauan kepentingan keamanan Israel. Dan seperti yang dia katakan kepada Departemen Luar Negeri Amerika pada bulan Mei tahun ini bahwa apa yang dia sajikan kepada mereka adalah sebuah model, sebuah rencana tentang Tepi Barat dan Gaza untuk orang Israel, Lebanon untuk kaum Kristen, dan Yordania untuk orang Palestina. Idenya adalah bahwa apa yang akan terjadi sekarang, mengingat sejarah panjang intervensi oleh Israel dan gerakan Zionis di dunia Arab adalah dominasi penuh, restrukturisasi penuh Timur Tengah ke dalam lingkup pengaruh dominasi oleh Israel.

Sehingga di masa depan kita mesti menantikan serangan terhadap Suriah[15] dan Yordania. Kita mesti senantiasa menantikan tekanan Israel di Teluk. Dan seperti yang dikatakan Sharon, kepentingan keamanan Israel kini meluas ke Pakistan, Iran, Turki, seluruh Afrika Utara, Ethiopia dan Zimbabwe. Jadi, apa yang kita hadapi sekarang adalah sebuah negara adidaya, sebuah negara adidaya regional yang akan menyelesaikan dan terus melangkah maju dengan rencana-rencana kawasan yang selalu berada dalam pandangan Zionis di Timur Tengah.

Ingat, misalnya, peristiwa Lavon pada tahun 1954 di Mesir, dorongan kerusuhan di Irak pada tahun 30-an. Yang paling baru—orang tidak ingat ini—bagaimana dengan serangan ke Lebanon, penghancuran seluruh angkatan udara sipil Lebanon pada tahun 1968 oleh pasukan komando Israel? Jadi, ketika Anda mendengar retorika Israel tentang, “Orang-orang Arab selalu bunuh diri dan membunuh satu sama lain, dan apa yang kami lakukan hanyalah memulihkan perdamaian dan ketertiban di wilayah ini,” Anda harus ingat bahwa ini adalah perdamaian dan ketertiban yang ingin dikendalikan oleh Israel. Sehingga pola intervensi yang terus berlanjut dalam kehidupan setiap warga negara Arab dan orang-orang di luar dunia Arab, di dunia Islam dan Afrika, terus berlanjut. Dan langkah di Lebanon ini hanyalah salah satu dari serangkaian langkah yang direncanakan dan mungkin akan dijalankan oleh Israel. Dan melawan hal ini adalah kedudukan Palestina di Lebanon, 10.000 orang bersenjata ringan dengan 100 tank reyot melawan kekuatan yang baru saja saya gambarkan: lebih dari 120.000 orang. Dan ingatlah bahwa pada tahun 1967, setengah juta tentara Arab dengan 3000 tank dan 900 pesawat melawan Israel dalam waktu enam hari. Dan sekarang 10.000 prajurit tak bersenjata telah menahan tentara Israel selama tujuh minggu.

Sekarang, saya ingin mengatakan satu hal lagi. Bahwa seperti yang dikatakan oleh Dick Falk, upaya untuk menggambarkan orang-orang Palestina pada dasarnya adalah sekumpulan perampok, teroris, dan agen-agen Soviet, sepenuhnya terbantahkan, baik di sini maupun di dunia Arab. Khususnya di dunia Arab oleh fakta bahwa, seperti yang dikatakan oleh teman saya Lias Huri, bahwa satu-satunya pemimpin Arab yang bisa berdiri di jalan-jalan dan berjalan di tengah-tengah rakyatnya, yang tidak dikepung oleh 800 pengawal dan sepuluh tank, adalah Yasser Arafat[16].

Oleh karena itu, untuk menyimpulkan dalam konteks Arab, perjuangan Arab Palestina adalah sebuah ide di mana orang-orang berjuang. Kepemimpinan mereka dipaksa untuk bertarung di garis depan, melawan semua pemimpin Arab lainnya yang hanya berbicara, yang kongkalikong, dan yang telah menunjukkan diri mereka sebagai orang yang tidak kompeten, seperti yang disebut Iqbal Ahmad sebagai makelar, kontraktor, dan pengobral negara. Sedangkan orang-orang Palestina berdiri di garis depan melawan seluruh pendirian Israel dan Amerika, memperjuangkan ide terakhir yang tersisa dari perjuangan nasional Arab untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan.

Sekarang, poin ketiga yang ingin saya sampaikan perihal ide tentang Palestina adalah, seperti yang telah saya katakan, bahwa perjuangan Palestina dan ide tentang Palestina telah mengambil dimensi internasional yang sangat besar sekarang ini, menjadi, titik fokus, titik paling sulit, titik paling krusial dalam perjuangan di dunia saat ini. Saya rasa saya tidak melebih-lebihkan. Perjuangan ini sangat sulit karena latar belakang musuh kita [Israel].Dan saya tidak ingin mengecilkan sejarah mengerikan antisemitisme yang ada di sana. Dan kita harus mengakui, dalam kasus sebagian besar orang Yahudi dan Israel, di belakang mereka ada semacam momok yang menghantui mereka. Dan saya rasa kita tidak bisa mengecilkan atau meremehkan hal itu. Dan karenanya, itu membuat perjuangan kita melawan serangan ini, sejauh apa yang dilakukannya terhadap kita, tidak manusiawi dan tidak adil. Namun, ini adalah perjuangan yang telah mencapai legitimasi internasional, yang tidak Anda rasakan di Amerika Serikat. Satu-satunya negara di dunia di mana Anda merasakan penolakan terhadap ide Palestina, seperti yang kita rasakan di Amerika, tentu saja, adalah Israel dan Afrika Selatan[17]. Dan itu bukan fakta yang tidak penting, tapi itu benar.

Sedangkan di dunia, seperti yang saya katakan, ide tentang Palestina telah menjadi sebuah irisan, membuka seluruh kaleng cacing (malapetaka). Dan cacing-cacing itu adalah mitos-mitos, ilusi-ilusi, dan fiksi-fiksi bahwa Israel adalah tentang demokrasi untuk semua orang, bahwa Israel adalah negara yang progresif dan beradab di Barat. Padahal apa yang terjadi di Tepi Barat, pembunuhan dan pemukulan yang kita lihat di televisi, namun kebanyakan orang di Amerika tidak mengerti apa yang terjadi, karena kita telah sebegitu terdehumanisasi. Mereka tidak mengetahui sejarah dari apa yang terjadi.

Namun, mulai terbuka serangkaian kontradiksi yang menurut saya dalam dua atau tiga tahun ke depan, Israel dan para pendukungnya akan menemukan bahwa mereka tidak mungkin dapat bertahan. Dan di sini, saya harus menyebutkan bahwa di negara ini (Amerika) memang sangat sulit untuk mengatakan—dalam kehadiran orang-orang seperti Dick Falk, dengan adanya orang-orang seperti Alex Ehrlich dan yang lainnya di negeri ini: Izzy Stone, Noam Chomsky[18], orang-orang Yahudi yang progresif, berani, dan sendirian yang telah berdiri menyuarakan dan melawan keributan ini—berbagai macam tekanan sosial dan tekanan intelektual serta politik lainnya untuk berdiri melawan mesin Zionis dan berbicara tentang keadilan dan perjuangan revolusioner. Namun, kecuali orang-orang itu, telah tampak seperti skandal bagaimana orang-orang progresif—ini sangat mengherankan—di antaranya seperti Tom Hayden dan Fonda[19], apa yang mereka lakukan sekarang? Apa yang mereka lakukan sekarang tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain yang menganggap diri mereka progresif, kaum progresif yang lebih memilih untuk tidak berbicara tentang Israel, yang akan berbicara tentang apa pun yang benar di bawah matahari, tetapi tidak tentang Israel. 

Jadi ketika mereka melihat tank-tank Israel melewati Sidon dan Tirus[20], seperti yang bisa dilihat dalam laporan Times oleh dr. Cahill, yang mengungkapkan tentang potongan anggota-anggota tubuh di Near East School of Theology di Beirut, dan tak terhitung berapa banyak perempuan dan anak-anak yang tak berdaya, juga pria, yang dibunuh oleh Israel di Beirut dan di seluruh Lebanon, apa yang mereka bicarakan? Mereka berbicara tentang sebuah dunia anti-nuklir. Mereka tidak bicara apa-apa tentang fakta bahwa satu-satunya kekuatan regional [Timur Tengah] yang memiliki opsi nuklir yang kredibel adalah Israel. Tak ada sepatah kata pun yang diucapkan tentang hal itu. Atau, seperti yang dikatakan Nat Hentoff—ada sebuah artikel sangat penting yang ia tulis tentang kejahatan dalam diam. Ketika orang-orang berdemonstrasi, sebagaimana mestinya, menentang apa yang sedang terjadi di Salvador atau di seluruh Amerika Tengah dan Amerika Latin, tak ada sepatah kata pun yang diucapkan tentang fakta bahwa sebagian besar rezim-rezim itu didukung, dilatih, dan dipelihara oleh Israel. Segala hal tentang ketidakadilan yang mengerikan dari para junta dibahas. Namun, kaum progresif yang sama yang mendukung perjuangan keadilan rakyat El Salvador, Nikaragua, dan seterusnya, tak mengatakan sepatah kata pun tentang peran Israel. Pengecut dan laknat, menurut pendapat saya, sama saja.

Hanya itu yang dapat saya sampaikan, selain untuk menyimpulkan dengan pemikiran berikut ini: jika dari semua ini Anda merasa tidak cukup konkret untuk berbicara tentang ide soal Palestina, maka izinkan saya mengingatkan Anda bahwa ide tentang Palestina hari ini dan selamanya, terbawa di dalam darah, di dalam tulang, dan terwujud nyata dalam tindakan. Di mana pun di mana ada orang Palestina, ide tentang Palestina tidak terbatas hanya pada orang-orang Palestina. Karena kekuatan ide tentang Palestina telah mengumpulkan kita bersama, lintas suku bangsa; yang merupakan orang Armenia, Yahudi, Amerika, dari semua jenis dan semua latar belakang dari seluruh dunia; menyatu dalam semangat pembebasan.

Seperti yang saya katakan, irisan yang mempercayai ide tentang Palestina ini merupakan irisan yang membuka diskusi nyata, dan yang terpenting, aksi politik dalam negeri (Amerika Serikat), di mana banyak hal yang tertinggal di belakang negara-negara lain di dunia. Saya yakin, kini kesempatan ada di hadapan kita untuk menerapkan ide tentang Palestina dan tidak perlu khawatir untuk meyakinkan Reagan[21]. Maksud saya, itu hanya membuang-buang waktu.

Maka poin yang sebenarnya, perihal ide tentang Palestina adalah bahwa ini merupakan perjuangan internasional juga nasional yang diwujudkan dalam tindakan spesifik perlawanan dan kepahlawanan di tanah Palestina dan di mana-mana, di mana ada perjuangan melawan ketidakadilan. Maka marilah kita bertekad untuk meneruskan perjuangan di tempat kita masing-masing, di mana pun ada perjuangan melawan ketidakadilan, untuk meneruskan ide ini dan selalu menghubungkannya dengan hal-hal yang selama ini disembunyikan dan dilupakan. Karena pada akhirnya, seperti yang saya katakan, ide tentang Palestina adalah apa yang memobilisasi dan telah memobilisasi seluruh populasi 4 juta orang Palestina yang tercerai-berai, orang-orang sederhana, mungkin bukan orang-orang yang luar biasa, tetapi orang-orang yang percaya bahwa mereka berhak untuk menentukan nasib sendiri dan akan terus berjuang untuk menentukan nasib sendiri. Jadi kami membutuhkan dukungan Anda.


Edward Said adalah seorang profesor linguistik Amerika keturunan Palestina. Bukunya, Orientalisme (1978), menjadi fondasi studi poskolonial abad 20. Said vokal dalam aktivisme politik, terutama terkait penjajahan Israel atas Palestina. Kedekatanya dengan Yasser Arafat membuatnya dilabeli Professor of Terror. Dalam salah satu berkas FBI, Said disebut dengan Eduardo Said, dengan asumsi bahwa teroris biasanya mempunyai nama Latin.

Sejak 7 Oktober 2023, Israel telah menjatuhkan ribuan bom ke Gaza, menyerang pemukiman sipil, sekolah, rumah sakit, rumah ibadah, dan kamp konsentrasi. Sampai tulisan ini dimuat, otoritas Palestina mengatakan bahwa Israel telah membunuh 9.061 orang, termasuk 3.760 anak-anak, dan 70 staf PBB. Pada Jumat 27 Oktober 2023, PBB menggelar voting General Assembly untuk gencatan senjata. 120 negara setuju, 45 negara termasuk Ukraina abstain, Amerika dan 13 negara lain menolak. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah berulang kali menolak seruan gencatan senjata, dengan mengatakan bahwa hal itu sama saja dengan “menyerah”.

Gambar header adalah karya salah satu seniman kontemporer terbaik Palestina, Sliman Mansour, berjudul The Sea is Mine (2016).


[1] Pada 6 Juni 1982, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menginvasi bagian selatan Lebanon dengan tujuan untuk melemahkan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) secara militer dan politik, serta mengubah Perang Saudara Lebanon agar berpihak pada sekutu sayap kanan Israel. Perang berlangsung selama tiga bulan. Dikenal juga sebagai Perang Lebanon 1982.

[2] Menghabiskan biaya Israel 1,1 miliar dollar Amerika secara keseluruhan, atau sekitar 3,5 miliar dollar dihitung inflasi 2023.

[3] Otoritas Lebanon menyebutkan total 19.000 jiwa terbunuh dan 30.000 luka-luka.

[4] Menachem Begin (16 Agustus 1913—9 Maret 1992) adalah mantan Perdana Menteri Israel yang juga pendiri partai sayap kanan Likud. Begin memerintahkan penyerangan ke Lebanon pada Juni 1982 dengan dalih act of survival.

[5] Tahun 1973, kudeta militer bekingan Amerika yang dipimpin Jenderal Augusto Pinochet menumbangkan pemerintahan sosialis Salvador Allende, yang terpilih secara demokratis pada 1970. Junta militer kemudian berkuasa di Chili selama 17 tahun hingga 1990.

[6] Gagasan nasionalis tentang kesatuan budaya dan politik di antara negara-negara Arab, yang bertujuan untuk menciptakan renaissance di Timur Tengah. Bermula dari kemerdekaan negara-negara Arab dari Kekaisaran Utsmaniyah (1918), dari penjajah Eropa di pertengahan abad 20, dan terbentuknya Liga Arab pada 1945.

[7] Richard A. Falk, salah satu anggota Special Rapporteur Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

[8] Setelah Inggris melepas teritori Palestina pada 1948, Israel mendeklarasikan kemerdekaannya dan mengklaim wilayah di luar dari batas-batas yang diusulkan PBB dan Inggris. Ini menimbulkan perang antara Israel dan negara-negara Arab seperti Mesir, Yordania, Suriah, dan Iraq. Israel berhasil menaklukkan wilayah Palestina dan memecahnya menjadi dua bagian, Gaza dan Tepi Barat (West Bank).

[9] Pada tahun 1940-an, ketiga intelektual Yahudi ini mendukung gagasan negara binasional Palestina, atau sering disebut one-state solution, yang mengusulkan sebuah federasi di mana orang Yahudi dan Arab akan mempertahankan otonomi budaya masing-masing. Tapi ide ini dianggap akan melanggengkan pendudukan Israel lewat kolonialisme pendatang (settler colonialism) dan sistem apartheid.

[10] Sejak 1948, Palestina terbelah menjadi dua, Tepi Barat dan Gaza, yang terpisah 93 kilometer jauhnya.

[11] Eks Perdana Menteri Israel Ariel Sharon.

[12] Palestine Liberation Organization. Didirikan pada tahun 1964 sebagai organisasi payung nasionalis Palestina yang didedikasikan untuk pendirian negara Palestina yang merdeka. Dianggap sebagai kelompok teroris oleh Amerika.

[13] Pemogokan umum oleh pekerja-pekerja Arab yang terlibat dalam bidang perburuhan, transportasi, dan pertokoan dimulai pada 19 April 1936 dan berlangsung hingga Oktober 1936, yang kemudian bereskalasi menjadi pemberontakan Arab 1936-39 di Palestina.

[14] Negara-negara Arab di Teluk Persia, di antaranya Kuwait, Oman, Bahrain, Qatar, Arab Saudi, Iraq, dan Uni Emirat Arab.

[15]  Israel secara aktif terlibat dalam Perang Saudara Suriah (2011—sekarang) sebagai bentuk perang proksi melawan Iran dan proksi-proksinya, termasuk Hezbollah. Aktivitas militer itu disebut Operation Chess.

[16] Mantan Presiden Palestina. Menjadi Ketua PLO dari 1969 sampai 2004.

[17] Afrika Selatan menjalankan sistem segregasi rasial apartheid sejak 1948 sampai 1990-an.

[18] Para akademisi yang konsisten menentang penjajahan Israel kepada Palestina dan mengakui turun tangan Amerika dalam perang-perang di Palestina.

[19] Aktris Jane Fonda aktif menyatakan dukungannya atas Vietnam pada tahun 70-an tetapi memilih diam terhadap kekejaman Israel di Palestina.

[20] Kota Tirus dan Sidon adalah kota pantai yang berada di wilayah Fenesia (sekarang Lebanon). Salah satu kota bersejarah yang didatangi Yesus Kristus.

[21] Presiden ke-40 Amerika, berkuasa dari 1981 sampai 1989, yang membekingi kepemimpinan Begin di Israel dan turut andil dalam Perang Lebanon di tahun 1981 sampai 1984.